Tegakkan Demokrasi, Perbedaan Pilihan dalam Pilkada 2024 Bagian Keragaman Masyarakat

Oleh: Jasin Dwi Santoso)*
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 merupakan momentum penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Sebagai salah satu sarana untuk memilih pemimpin daerah, Pilkada bukan hanya soal menentukan siapa yang akan memimpin, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat mengekspresikan hak politiknya. Dalam konteks ini, perbedaan pilihan dalam Pilkada menjadi hal yang tidak bisa dihindari dan seharusnya dipandang sebagai bagian dari keragaman yang ada di tengah-tengah masyarakat.
 
Sebagai negara yang berlandaskan pada prinsip demokrasi, Indonesia memiliki ragam suku, budaya, agama, dan pandangan politik. Keragaman ini tercermin dalam dinamika Pilkada, yang sering kali menghadirkan berbagai pilihan calon pemimpin. Setiap individu memiliki hak untuk memilih sesuai dengan keyakinan dan harapan mereka terhadap masa depan daerahnya. Dalam kerangka demokrasi, perbedaan pilihan ini adalah hal yang wajar dan seharusnya dihormati oleh semua pihak.
 
Ustadz Rizaldy Siregar mengatakan, tokoh masyarakat, pemimpin daerah, dan pihak-pihak terkait harus menjadi teladan dalam mengedepankan persatuan. Hal ini merupakan seruan yang mengingatkan kita betapa pentingnya menjaga keharmonisan dalam sebuah negara yang multikultural dan demokratis seperti Indonesia.
 
Dalam pandangan Ustadz Rizaldy, pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu menyatukan berbagai elemen masyarakat, tanpa memandang latar belakang politik, agama, maupun suku. Pemimpin harus bisa mengajak rakyat untuk melihat bahwa meskipun terdapat perbedaan pendapat, tujuan bersama untuk membangun kemajuan daerah dan negara tetap menjadi prioritas utama. Jika pemimpin mampu menunjukkan sikap inklusif dan berwawasan jauh ke depan, masyarakat pun akan lebih mudah diajak untuk berdamai dengan perbedaan mereka.
 
Tentu saja, dalam setiap pemilu, termasuk Pilkada 2024, tidak bisa dipungkiri bahwa perbedaan pilihan politik akan selalu ada. Berbagai faktor seperti latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, hingga pengalaman hidup masing-masing individu memengaruhi cara pandang mereka dalam memilih pemimpin. Setiap calon pun menawarkan visi, misi, dan program yang berbeda, yang tentunya akan resonan dengan segmen-segmen tertentu dalam masyarakat.
 
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Lampung, Prof Mohammad Bahruddin mengatakan semakin dewasa dan matangnya masyarakat dalam menyikapi perbedaan pandangan politik, adalah sebuah refleksi positif terhadap kondisi sosial politik Indonesia yang terus berkembang. Dalam pernyataannya, beliau mengapresiasi kesadaran masyarakat yang mulai menghindari dampak negatif dari perpecahan akibat perbedaan pilihan politik.
 
Kematangan politik masyarakat Indonesia memang patut mendapatkan perhatian lebih. Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan betapa tingginya tensi politik yang sering kali membuat perbedaan pilihan menjadi sumber perpecahan. Namun, sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof Bahruddin, masyarakat kini semakin menyadari bahwa konflik politik yang tak terkendali justru akan merugikan banyak pihak, terutama dalam konteks kebersamaan dan keberagaman yang kita miliki. Dengan meningkatnya kesadaran ini, masyarakat mulai lebih fokus pada pentingnya menjaga persatuan dan saling menghargai meskipun berbeda pilihan politik.
 
Pilkada juga menjadi ajang bagi masyarakat untuk lebih mengenal dan memahami calon pemimpinnya. Proses pemilihan ini tidak hanya tentang siapa yang terpilih, tetapi juga tentang bagaimana warga negara bisa terlibat secara aktif dalam proses politik. Diskusi publik, debat calon, serta penyampaian visi dan misi oleh para kandidat menjadi sarana bagi pemilih untuk menggali informasi yang lebih mendalam. Meskipun akhirnya ada yang memilih calon A dan ada yang memilih calon B, yang paling penting adalah bahwa pilihan tersebut diambil secara rasional dan berdasarkan pertimbangan yang matang.
 
Ketua Badan Pekerja Majelis Jemaat (BPMJ) Ekklesia Tahuna, Hollisye Daud Sasenga mengatakan semua jemaat bersama menyukseskan tahapan pemilihan Kepala Daerah yang ada di Kabupaten Sangihe. Melalui doa syafaat yang dipanjatkan usai khotbah, beliau menegaskan bahwa meskipun warga jemaat menghadapi perbedaan pandangan politik, sebagai umat yang mengandalkan Tuhan, mereka diharapkan untuk tetap saling menghargai dan menjadi teladan di tengah masyarakat.
 
Pdt. Hollisye juga mengingatkan bahwa meskipun ada perbedaan pilihan dalam Pilkada, hal itu seharusnya tidak menghalangi kita untuk tetap hidup rukun dan saling menghormati. Dalam kehidupan beragama, prinsip saling menghargai antar sesama adalah ajaran yang sangat ditekankan. Oleh karena itu, jemaat Ekklesia Tahuna, seperti halnya komunitas agama lainnya, diharapkan untuk terus menunjukkan sikap yang membawa dampak positif bagi lingkungan sekitar, terutama dalam menjaga keharmonisan di tengah-tengah keragaman pandangan politik yang ada.
 
Keterlibatan masyarakat dalam Pilkada juga mencerminkan kualitas demokrasi itu sendiri. Partisipasi aktif dalam memilih tidak hanya mencerminkan kesadaran politik warga, tetapi juga menjadi cara untuk mengawal proses demokrasi agar tetap berjalan dengan transparan dan adil. Sebagai pemilih, sudah sepatutnya untuk menghargai hak orang lain dalam memilih tanpa merasa perlu memaksakan pandangan sendiri.
 
Pada akhirnya, Pilkada 2024 adalah sebuah proses demokrasi yang menunjukkan bahwa meskipun perbedaan pilihan itu ada, hal tersebut justru menjadi cerminan keragaman yang sehat dalam masyarakat. Demokrasi akan semakin kuat ketika perbedaan ini dapat dihargai dan dijadikan sebagai kekuatan, bukan sebagai pemicu perpecahan. Dengan menjaga sikap saling menghargai, Indonesia dapat terus maju sebagai negara yang demokratis dan pluralis.
 
)*penulis merupakan Analis Kebijakan Politik – Fajar Institute for Political Studies

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *