Oleh : Rivka Mayangsari*)
Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman budaya, agama, dan suku bangsa. Kebhinekaan merupakan aset berharga yang perlu dijaga dan dilestarikan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, isu Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan (SARA) sering kali dimanfaatkan dalam ranah politik, khususnya menjelang pemilihan umum. Politisasi SARA tidak hanya mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, tetapi juga mencederai semangat demokrasi yang seharusnya adil dan inklusif.
Dalam situasi seperti ini, penting bagi kita untuk mendorong dialog antar kelompok dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya toleransi. Mengedukasi masyarakat tentang bahaya politisasi SARA menjadi langkah awal yang krusial. Selain itu, tokoh masyarakat dan pemuka agama harus lebih aktif dalam mempromosikan perdamaian dan kerukunan. Dukungan media yang bertanggung jawab juga sangat dibutuhkan untuk menyebarkan pesan-pesan positif. Dengan kerjasama semua pihak, diharapkan upaya menjaga kebhinekaan bisa terlaksana dengan baik.
Politisasi SARA sering digunakan sebagai strategi untuk meraih dukungan suara dengan memanfaatkan sentimen keagamaan atau etnisitas. Strategi ini tidak hanya memecah belah masyarakat, tetapi juga menimbulkan ketidakpercayaan dan ketegangan antar kelompok. Salah satu contoh nyata adalah kasus yang terjadi dalam beberapa pemilihan kepala daerah di Indonesia, di mana isu SARA digunakan untuk menjatuhkan lawan politik.
Praktik ini sangat tidak etis dan berpotensi menciptakan polarisasi yang tajam di tengah masyarakat. Isu SARA yang dihembuskan dalam konteks politik sering kali menimbulkan konflik horizontal, yang dampaknya bisa dirasakan dalam jangka panjang. Selain itu, politisasi SARA juga menurunkan kualitas demokrasi, karena pemilih tidak lagi memilih berdasarkan program atau visi-misi calon, melainkan berdasarkan sentimen SARA yang dibangkitkan secara manipulatif.
Pengamat politik dari Universitas Nusa Cendana, Dr. Mulyadi Tamsir, menjelaskan bahwa politisasi SARA mencederai demokrasi dan mempertajam konflik sosial. Menurutnya, hal ini sangat berbahaya karena bisa mengancam stabilitas nasional jika tidak ditangani dengan serius.
Untuk menjaga kebhinekaan di tengah politisasi SARA, berbagai elemen masyarakat, termasuk lembaga pemerintahan, organisasi masyarakat, dan tokoh agama, harus bekerja sama. ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), misalnya, diminta untuk menjadi penjaga kebhinekaan saat pesta demokrasi. Ketua Umum ICMI, Jimly Asshiddiqie, menyatakan bahwa ICMI harus aktif dalam memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kebhinekaan dan tidak terpengaruh oleh isu SARA yang dihembuskan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Ketua ICMI, Jimly Asshiddiqie, menekankan bahwa edukasi yang tepat kepada masyarakat akan membantu mereka memahami betapa pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Menurutnya, kesadaran bahwa Indonesia yang beragam ini adalah kekuatan, bukan kelemahan, harus terus dibangun.
Aparat keamanan juga memiliki peran penting dalam menjaga kebhinekaan dan memastikan Pilkada berlangsung aman dan damai. Kabaharkam Polri, Komjen Pol Agus Andrianto, mengimbau masyarakat untuk memperkuat kebhinekaan menjelang Pilkada Serentak 2024. Pihaknya meminta seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama menjaga keamanan dan ketertiban, serta menolak segala bentuk provokasi yang berbau SARA.
Langkah konkret lainnya adalah dengan mengadakan deklarasi bersama untuk menolak penggunaan isu SARA dalam politik. Salah satunya, deklarasi yang dilakukan oleh warga Tanah Abang yang sepakat untuk menolak SARA dan politik uang dalam Pilkada Jakarta. Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam) Tanah Abang, Fatoni menyatakan bahwa warga Tanah Abang berkomitmen untuk menjaga kebhinekaan dan tidak akan terpengaruh oleh isu SARA dan politik uang karena ingin pemilu yang jujur dan adil. Pemerhati Pemilu, Jomson Samosir di kesempatan yang sama mengakui salah satu kesulitan pengawasan dalam gelaran Pilkada yakni adanya politik uang. Untuk itu, pihaknya mengimbau warga untuk tidak menerima politik uang agar tidak ada beban untuk menentukan pilihannya.
Edukasi dan peningkatan kesadaran masyarakat mengenai bahaya politisasi SARA sangat penting. Masyarakat perlu diberikan pemahaman tentang bagaimana isu SARA bisa merusak tatanan sosial dan merugikan semua pihak. Pendidikan politik yang inklusif dan merangkul semua golongan adalah kunci untuk membangun kesadaran ini.
Selain itu, peran serta media dalam memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab sangat diperlukan. Informasi yang disampaikan harus mampu membangun semangat kebersamaan dan toleransi, bukan justru memperkeruh suasana. Kampanye publik yang mengedepankan persatuan dan menghargai perbedaan juga harus terus digalakkan, baik oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat.
Menjaga kebhinekaan di tengah politisasi SARA adalah tugas bersama seluruh elemen bangsa. Dibutuhkan komitmen kuat dari semua pihak untuk tidak terjebak dalam permainan politik yang berbahaya ini. Melalui edukasi, kerjasama, dan deklarasi bersama, kita bisa mewujudkan Pilkada yang adil dan demokratis serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi pihak yang memanfaatkan isu SARA untuk kepentingan politik sempit. Kebhinekaan sebagai warisan berharga bangsa Indonesia harus tetap dijaga, memastikan semangat persatuan terjaga demi masa depan yang lebih baik.
Semua pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga media massa, harus bersatu padu dalam menjaga keutuhan bangsa ini. Jika kita semua bersatu, tidak ada isu SARA yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan. Masa depan Indonesia yang damai dan harmonis bergantung pada upaya bersama kita dalam menjaga dan merawat kebhinekaan. Tanpa kebersamaan, keberagaman yang kita miliki bisa menjadi sumber konflik, tetapi dengan persatuan, kebhinekaan akan menjadi kekuatan yang tak tergoyahkan.
*)Pengamat politik