Oleh : Dhita Karuniawati )*
Radikalisme dan terorisme saat ini masih rentan tersebar di kalangan masyarakat, terutama di lingkungan pendidikan. Anak-anak muda yang sedang menempuh pendidikan menjadi sasaran empuk untuk disusupi doktrin atau ajaran radikal, karena belum mampu berpikir matang dan mudah terpengaruh. Paham radikal itu jelas sangat membahayakan kelangsungan hidup generasi muda, seperti dapat memicu aksi terorisme dan perpecahan bangsa.
Oleh karena itu, gerakan radikal dan terorisme perlu diwaspadai sebagai ancaman bangsa yang nyata khususnya di lingkungan pendidikan baik di kampus maupun sekolah. Pencegahan harus dilakukan secara menyeluruh dan dimulai dari diri sendiri, keluarga, kerabat, dan lingkungan sekitar.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI melaksanakan pencegahan paham radikal melalui program sekolah damai di beberapa daerah di Indonesia. Program sekolah damai menjadi salah satu program prioritas yang digagas Kepala BNPT RI Komisaris Jenderal Polisi Mohammed Rycko Amelza Dahniel pada tahun 2024.
Program ini telah dilaksanakan di Kota Palu, Sulawesi Tengah, dan Kota Serang, Banten. Program sekolah damai juga dilaksanakan di Pondok Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi, Jawa Timur, pada 15-16 Mei 2024.
Salah satu rangkaian kegiatan sekolah damai adalah pelatihan guru dalam rangka menumbuhkan ketahanan satuan pendidikan dalam menolak paham intoleransi, kekerasan, dan perundungan.
Direktur Pencegahan BNPT RI Irfan Idris mengatakan, sekolah damai untuk guru dan siswa akan menjadikan mereka sebagai duta perdamaian. Sebagai duta damai, mereka diharapkan berperan menyebarkan paham-paham perdamaian di sekolah masing-masing, sekolah-sekolah lain di sekitarnya, dan masyarakat serta lingkungan wilayahnya.
Terorisme tidak ada sangkut paut dengan agama karena di negara manapun ada terorisme yang mengatasnamakan agama. Di Myanmar teroris beragama Budha, di Selandia Baru teroris yang menembaki umat Islam yang sedang shalat Jumat beragama Kristen. Begitu pula di India teroris beragama Hindu. Karena di Indonesia mayoritas beragama Islam maka kebanyakan teroris di Indonesia beragama Islam. Tidak ada agama apa pun yang mempromosikan terorisme. Yang ada adalah oknum-oknum di agama tersebut.
Irfan menjelaskan bahwa ke depan, BNPT akan menyiapkan indikator sekolah damai, misalnya, tidak ada perundungan, aksi kekerasan, dan intoleransi di sekolah tersebut. Selain itu, pihaknya akan meminta kementerian terkait, seperti Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama, agar kegiatan seperti itu digelar secara berjenjang dari bawah sampai pendidikan tinggi.
Program sekolah damai harus terus diviralkan dan diperluas, sehingga bisa meminimalisasi aksi intoleransi di sekolah, yang bisa menyebabkan lahirnya aksi teror yang disenangi kelompok radikal terorisme.
Sementara itu, Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) RI memperkuat koordinasi antara elemen masyarakat dan instansi pemerintah untuk mencegah/mengantisipasi penyebaran paham terorisme di Jawa Timur. Upaya itu dilakukan dengan cara menggelar diskusi antara elemen masyarakat di salah satu perguruan tinggi di Jawa Timur.
Asisten Deputi Koordinasi HAM Kemenko Polhukam Brigjen TNI Rudy Syamsir mengatakan bahwa pembahasan ini relevan dan krusial mengingat perguruan tinggi merupakan tempat generasi muda yang berpotensi besar untuk membangun bangsa, namun juga rentan terpapar dari ideologi radikal.
Menurut dia, dunia pendidikan, dalam hal ini kampus merupakan tempat bagi kalangan anak muda intelektual untuk memberikan gagasan dan beradu pandangan akan sebuah masalah. Kondisi tersebut dapat membuat paham radikal dengan mudah masuk ke dalam dunia kampus lantaran mahasiswa di dalamnya memiliki keinginan tinggi untuk mempelajari hal-hal baru. Jika hal ini tidak dicegah sedari awal maka kampus bisa menjadi sarang utama yang memproduksi pikiran radikal dan rawan melahirkan teroris.
Pada saat yang sama, Kepala Sub Direktorat Perlindungan Apgakum BNPT Suroyo menyampaikan, kondisi tersebut membuat kampus harus memiliki wadah pelaporan khusus untuk mengadukan kegiatan-kegiatan yang berbau terorisme. Hal ini harus dilakukan oleh lingkungan kampus sebagai wujud aksi pembuatan dan pengembangan wadah pelaporan tindakan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di kampus pada wilayah rentan terintegrasi dengan mekanisme perlindungan saksi, korban dan pelapor. Dengan upaya tersebut, dunia pendidikan dan pemerintahan diharapkan dapat menjadi tempat untuk menyaring anak muda dari paham radikal sehingga tidak terjerumus ke dunia terorisme.
Melalui berbagai langkah ini, BNPT berupaya secara aktif untuk menanggulangi bibit intoleransi di sekolah maupun kampus dan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih aman, inklusif, dan terbebas dari sikap-sikap ekstremisme dan radikalisme. Dengan cara seperti ini BNPT dapat meningkatkan kesadaran mereka tentang dampak negatif dari perilaku-perilaku tersebut, serta memberikan mereka keterampilan dan pengetahuan untuk menangani konflik secara damai.
Program-program pencegahan yang dijalankan pemerintah bersama mitra anak muda, dapat menciptakan platform bagi generasi muda untuk terlibat aktif dalam memerangi intoleransi dan kekerasan di lingkungan pendidikan. Terpenting dari program ini adalah bagaimana memutus mata rantai dan kaderisasi kelompok intoleran dan radikal yang memanfaatkan generasi muda.
*) Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia