Oleh : Aulia Rahma
Pilkada serentak 2024 semakin dekat. Di tengah antusiasme masyarakat untuk memilih pemimpin baru di daerahnya, muncul kekhawatiran akan maraknya politisasi SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Politisasi SARA merupakan praktik berbahaya yang dapat memecah belah persatuan bangsa dan menghambat kelancaran demokrasi. Maka dari itu, penting menyadari bahaya politisasi SARA, penting bagi kita untuk bersama-sama menolak dan melawan praktik ini.
Dampak negatif politisasi SARA sangatlah besar. Pertama, praktik ini dapat menimbulkan konflik dan kekerasan antar masyarakat. Kedua, politisasi SARA dapat merusak rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Ketiga, praktik ini dapat menghambat proses demokrasi yang jujur dan adil.
Proses kontestasi politik segera di mulai, setiap calon sudah menggandeng pasangannya dengan yakin. Pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Nusa Tenggara Barat (NTB), sejumlah nama sudah menemukan pasangannya, namun sejauh ini belum ada satu pasangan yang mendapatkan surat rekomendasi partai politik yang akan digunakan untuk mendaftar di Komisi Pemiliham Umum.
Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram Dr. Ihsan Hamid mengatakan pihaknya terus meningingatkan kepada calon dan tim yang akan maju di Pilgub NTB agar tidak memainkan isu SARA dalam kontestasi Demokrasi dan berharap para kontestan dan tim sukses tidak menggunakan isu Sara untuk menumbangkan lawan di Pilgub nanti, melainkan bertarung secara dewasa dengan menjual ide dan gagasan kepada masyarakat.
Keterbukaan sistem demokrasi saat ini sebagai upaya untuk menghilangkan isu Sara dalam setiap perhelatan demokrasi. Sebab politisasi SARA merupakan praktik yang sangat berbahaya karena dapat memecah belah masyarakat dan memicu konflik. Di Indonesia, yang terkenal dengan keberagaman etnis dan agamanya, penggunaan isu SARA dalam kampanye politik dapat menimbulkan ketegangan sosial yang signifikan.
Politisasi SARA tidak hanya merusak proses demokrasi, tetapi juga berdampak negatif pada masyarakat secara keseluruhan. Ketika isu SARA digunakan untuk memanipulasi hasil pemilihan, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan terhadap sistem demokrasi dan proses pemilu yang adil. Selain itu, Fokus pada isu SARA sering kali mengalihkan perhatian dari isu-isu substantif yang seharusnya menjadi perhatian utama dalam Pilkada, seperti program kerja, visi misi calon, dan kemampuan mereka untuk memimpin.
Semua pihak telah berhati-hati adanya penyebaran politisasi SARA jelang Pilkada 2024, Pasalnya, tindakan seperti itu dapat memberikan dampak negatif hingga memecah belah masyarakat. Sehingga para calon yang mengikuti Pilkada 2024 diharapkan bisa mengajak warga untuk menjalani politik sehat.
Anggota Bawaslu, Muhamad Sodiki mengatakan bahwa dalam dalam setiap pemilu terutama Pilkada ini selalu ada potensi munculnya politisasi SARA. Tidak menutup kemungkinan juga hal tersebut terjadi di Kota Bekasi. Berbagai upaya pun ditempuh oleh Bawaslu sebagai langkah pencegahan timbulnya politisasi SARA tersebut, salah satunya dengan memberikan edukasi pada masyarakat agar tidak terjebak di dalam politisasi.
Bawaslu Kota Bekasi juga melibatkan Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam). Selain itu, tokoh masyarakat serta tokoh agama pun ikut andil memberi edukasi. sehingga partai politik atau tim sukses diharapkan tidak menggunakan SARA untuk meraih dukungan. Kita ingin kontestasi Pilkada yang riang gembira.
Menolak politisasi SARA merupakan tugas bersama yang membutuhkan partisipasi aktif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, partai politik, media, dan masyarakat sipil. Pemerintah dan lembaga penegak hukum harus tegas dalam menindak pelanggaran yang melibatkan politisasi SARA. Ini termasuk memberikan sanksi tegas kepada pihak-pihak yang terbukti menggunakan isu SARA untuk kepentingan politik.
Masyarakat perlu diberikan pemahaman yang baik tentang bahaya politisasi SARA dan pentingnya memilih berdasarkan program kerja dan kapasitas calon. Literasi media juga penting agar masyarakat dapat mengenali berita-berita yang bernuansa provokatif dan tidak terjebak dalam narasi SARA.
Media massa memiliki peran penting dalam menciptakan suasana kampanye yang sehat. Media harus bersikap netral dan tidak menyebarkan berita atau opini yang dapat memicu konflik SARA. Media juga bisa menjadi sarana edukasi politik bagi masyarakat.
Hal yang terpenting adalah partai politik dan para calon harus menunjukkan komitmen untuk tidak menggunakan isu SARA dalam kampanye mereka. Mereka harus fokus pada isu-isu yang lebih substantif dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Menolak politisasi SARA dalam Pilkada adalah langkah krusial untuk menjaga integritas demokrasi dan harmoni sosial di Indonesia. Praktik politisasi SARA tidak hanya merusak tatanan demokrasi tetapi juga membahayakan kesatuan bangsa. Oleh karena itu, semua pihak harus berkomitmen untuk menjalankan proses demokrasi dengan integritas, menjauhkan diri dari praktik-praktik yang membahayakan, dan fokus pada isu-isu yang benar-benar penting bagi kesejahteraan masyarakat.
Pemilihan yang bersih dan bebas dari isu SARA akan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang benar-benar kompeten dan dapat dipercaya untuk memimpin daerahnya. Dengan demikian, masyarakat dapat menikmati hasil dari sebuah demokrasi yang sehat dan matang. Marilah kita bersama-sama menolak politisasi SARA dan mewujudkan Pilkada yang bermartabat dan berkeadilan.
)* Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta